Kisah Ali Bin Abi Thalib Sampai Terbunuh
Ali bin Abi Thalib seorang Khalifah yang pemberani, kisah lengkap
Ali bin Abi Thalib ditulis kembali agar pembaca bisa mengetahui sejarah
yang sebenarnya mulai Ali bin Abi Thalib sebelum menjadi khalifah sampai akhir
hayatnya terbunuh.
‘Ali bin ‘Abi
Thalib adalah menantu Rasulillah yang mendapat nama kehormatan (kuniyyah) Abu
Turab (Bapaknya tanah) dari Rasulillah. Abu Turab adalah panggilan yang paling
disenangi oleh ‘Ali karena nama kehormatan ini kenang-kenangan berharga dari
Nabi yang mulia. Ia dibai’at menjadi Khalifah pada hari Jumat tanggal 25
Dzul-Chijjah tahun 35 Hijriyyah (4 Juni 656 M).
Sabda Nabi : “لأُعْطِيَنَّ
الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
"Niscaya
besok pagi bendera ini akan saya berikan pada seorang lelaki yang telah diberi
kemenangan karena usahanya. Ia dicintai Allah dan Utusan Allah dan utusan Allah
juga mencintainya".
Pada masa
perang Khaibar bulan Shafar tahun tujuh Hijriyah dia telah menjadi tokoh utama
bagi umat Islam pada umumnya. Setelah sabda yang menggiurkan tersebut terucap,
para shahabat membicarakan siapa orang beruntung yang akan mendapatkan
kehormatan tersebut. Setelah itu mereka semua berambisi menjadi tokoh agung
tersebut.
Di suatu pagi
yang indah semua sahabat termasuk Umar yang tidak pernah ingin menjadi
pemimpin, berkeinginan untuk terpilih. Ternyata Ali bin Abi Taliblah yang
menerima kesempatan besar tersebut. Ali bin Abi Talib juga dianugerahi
karena telah membunuh Talha ibn' Uthman di perang Uhud pada bulan Syawal tahun
3 (tiga) Hijriyyah (Januari 625 M)
خرج طلحة بن عثمان صاحب لواء المشركين وقال: يا
معشر أصحاب محمد إنكم تزعمون أن الله يعجلنا بسيوفكم إلى النار ويعجلكم بسيوفنا
إلى الجنة، فهل أحد منكم يعجله سيفي إلى الجنة أو يعجلني سيفه إلى النار ؟ فبرز
إليه علي بن أبي طالب، فضربه علي فقطع رجله، فسقط وانكشفت عورته، فناشده الله
والرحم فتركه، فكبر رسول الله، صلى الله عليه وسلم، وقال لعلي: ما منعك أن تجهز
عليه ؟ قال: إنه ناشدني الله والرحم فاستحييت منه –
Talha bin
'Uthman pembawa bendera kaum musyrik berkata," Wahai para golongan sahabat
Muhammad, engkau yang berkeyakinan bahwa Tuhan akan mempercepat kami ke neraka
dengan pedang kalian, dan mempercepat kamu ke surga melalui pedang kami.
Sekarang siapakah yang sanggup mempercepat diri kalian ke Surga karena pedang
kami atau mempercepat kami ke neraka dengan pedang kalian? Ali akhirnya
menerima tantangan tersebut, bergerak cepat memukul mematahkan kakinya. Ia
jatuh hingga terlihat auratnya karena kain yang ia kenakan tersingkap, dan
memohon kepada Ali agar takut kepada Allah dan meminta-minta menjadi
sahabatnya, lalu Ali meninggalkannya. Tiba-tiba Nabi memekikan takbir demi
melihat pemandangan tersebut dan bertanya,"Apa yang membuatmu tidak
menghabisinya? Ali menjawab,"Ia memohon-mohon padaku untuk memperhatikan
Allah dan keluarga kami, sehingga saya merasa enggan".[Al-Kamil fit-Tarikh
1 / 294]
Thabrani murid
Achmad bin 'Ali Abu al-Abbar murid Umayyad murid Uthman ibn' Abdir-Rahman murid
Isma'il ibn Rashid bercerita tentang kematian 'Ali ibn' Abi Talib, yang
bertepatan dengan hari Jum'at 17 Ramadan tahun 40 Hijriyyah (24 January 661M):
Konon termasuk Hadits Ibnu Muljam dan shahabat-shabatnya yang dilaknat Allah
ialah: Memang ‘Abdur-Rahman bin Muljam, Al-Barku bin ‘Abdillah dan ‘Amer bin
Bakr At-Taimi mengadakan pertemuan di Makkah untuk membahas tentang ihwal
masyarakat umum dan mencela perbuatan tokoh-tokoh besar Muslimiin. Pembicaraan
tersebut berkembang ke arah pembahasan kepedulian mereka pada penduduk kota
Nahar yang dulu pernah diperangi ‘Ali. Mereka berkata, “Demi Allah kita ini
belum berjasa sebanyak tokoh-tokoh (Khawarij) yang telah mendahului kita.
Tokoh-tokoh pendahulu kita telah menjadi dai yang mengajak orang-orang agar
beribadah pada Tuhan mereka, dan di dalam beribadah mereka tidak takut
caci-makian orang mencaci-maki. Hendaklah kita-kita ini mengorbankan diri-kita
dengan cara mendatangi dan memastikan tokoh-tokoh besar Muslimin terbunuh,
sebagai upaya agar penduduk-kota kita tidak dendam dan agar dendam pendahulu
kita terbalas. Ibnu Muljam yang konon sebagai penduduk Mesir berkata, “Sayalah
yang membereskan urusan kalian berupa menghabisi ‘Ali.” Al-Barku bin ‘Abdillah
berkata, “Sayalah yang akan membereskan urusan kalian berupa menghabisi
Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.” ‘Amer bin Bakr At-Tamimi berkata, “Sayalah yang
akan membereskan urusan kalian berupa menghabisi ‘Amer bin ‘Ash.”
Tiga orang yang
terancam kematiannya ini tokoh besar ummat Islam yang saat itu namanya
menggetarkan dunia karena saat itu zaman kejayaan Islam:
1.
’Ali
bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang sangat agung.
2.
Mu’awiyyah
sebagi Gubernur yang sangat berpengaruh karena pernah menjadi sekretaris
Rasulillah.
3.
‘Amer
bin ‘Ash orang yang pernah diangkat sebagai panglima perang oleh Abu Bakr,
bahkan tergolong Umara’ul-Ajnad (semacam jendral besar).
Mereka bertiga
membuat persekongkolan dan perjanjian rahasia yang diikat dengan sumpah demi
Allah tak seorangpun dari mereka mem-batalkan rencananya sehingga berhasil
membunuh sasaran mereka masing-masing atau mati karena rencana gila tersebut.
Mereka bertiga mengambil pedang untuk diberi racun, dan membulatkan perjanjian
bahwa masing-masing mereka bertiga akan menyerang korban mereka tanggal 17 Ramadhan.
Mereka bertiga pergi ke kota yang dihuni oleh sasaran mereka masing-masing.
Ibnu Muljam
Al-Muradi mendatangi sahabat-sahabatnya berada di kota Kufah, namun ia
menyembunyikan rencananya karena takut akan ada yang mengetahuinya. Ibnu Muljam
juga mendatangi teman-temannya dari keluarga besar Taimir-Rabab, yaitu sebuah
keluarga besar yang pada zaman perang An-Nahar banyak yang mati terbunuh.
Keluarga besar Taimir-Rabab membicarakan dan mengasihani keluarga mereka yang
meninggal dalam peperangan tersebut. Kebetulan saat itu muncul seorang wanita
bernama Qatham binti Sachnah dari keluarga besar Taimir-Rabab yang memendam
dendam pada ‘Ali karena telah membunuh ayah dan saudara laki-lakinya dalam
perang Nahar tersebut. Konon kecantikan Qatham binti Sachnah luar biasa
(sempurna). Karena kecantikan Qatham binti Sachnah lah maka ia lupa dengan
tujuan semula (tersihir). Ibnu Muljam melamar Qatham binti Sachnah. Qatham
binti Sachnah menjawab, “Saya tidak akan menikah sehingga kau bisa mengobati
sakit-hatiku.” Ibnu Muljam bertanya, “Sebetulnya apa yang kau inginkan?.” Ia
menjawab, “Tiga ribu dinar dan budak laki-laki dan biduanita dan bunuhlah ‘Ali
!.” Ibnu Muljam berkata, “Berarti ini sebagai maskawin untukmu. Namun apa betul
kamu ingin ‘Ali dibunuh?.”
Diriwayatkan
bahwa Ibnu Abi ‘Ayyasy Al-Muradi berkata, “وَلا مَهْرَ
أَغْلَى مِنْ عَلِيٍّ (Sebetulnya
tidak ada maskawin yang lebih mahal dari pada membunuh ‘Ali bin Abi Thalib ).”
Ia menjawab,
“Betul!. Pastikan pembunuhan tersebut pada waktu-bulan-ghurrah (sekitar tanggal
15)!. Jika kau berhasil maka kita berdua puas, selanjutnya kita berdua hidup
berbahagia penuh manfaat. Namun jika kau yang mati terbunuh, maka yang di sisi
Allah jauh lebih baik dari pada dunia dan perhiasan penghuninya.” Ibnu Muljam
berkata, “Sebetulnya kedatanganku kemari memang bertujuan membunuh dia.” Ia
menjawab, “Jika tekadmu telah bulat kabarilah saya, saya akan menyuruh orang
agar membantu dan mendukungmu.” Akhirnya Qatham perintah lelaki dari
keluarganya yang menyanggupinya bernama Wardan. Ibnu Muljam mendatangi lelaki
(shahabat karibnya) dari keluarga besar Asyja’ bernama Syabib bin Najdah untuk
berkata, “Bukankah kau mau mendapatkan kejayaan dunia dan akhirat?.” Ia
menjawab, “Apa maksudmu?.” Ibnu Muljam menjawab, “Membunuh ‘Ali .” Ia menjawab,
“Kau ini gila.
لَقَدْ
جِئْتَ شَيْئًا إِدًّاNiscaya kau
telah melakukan kegilaan yang nyata. Apa mungkin kau bisa membunuh dia?.” Ibnu
Muljam berkata, “Saya akan bersembunyi di waktu sahur. Jika ia telah keluar
rumah untuk mengimami shalat shubuh, maka saat itu juga kita serang dan kita
bunuh. Jika dalam rencana ini kita selamat maka kita puas dan dendam kita telah
terbalas, namun jika kita mati maka pahala di sisi Allah jauh lebih baik dari
pada dunia dan perhiasan penghuninya. Ia berkata, “Kau memang harus kubantu.
Tapi kalau rencana ini ditujukan pada selain ‘Ali niscaya urusannya lebih
ringan bagiku. Karena saya tahu sepenuhnya bahwa jasa dia di dalam Islam sangat
besar. Ia juga termasuk shahabat Nabi yang awal. Terus terang dalam hal ini
saya merasa keberatan. Ibnu Muljam berkata, “Bukanakah kau sendiri tahu bahwa
dia yang memerangi penduduk Nahar yang tekun beribadah dan shalat?.” Ia
menjawab, “Betul.” Ibnu Muljam berkata, “Kita membunuh dia karena membalaskan
saudara-saudara kita yang dia bunuh saat itu.” Setelah Syabib bin Najdah
menyetujuinya, mereka bertiga segera berpamitan, “Kami semua telah mufakat akan
membunuh ‘Ali,” pada Qatham yang saat itu sedang i’tikaf di dalam Masjid Agung.
Qatham menjawab, “Jika kalian telah siap berangkat datanglah kemari lagi!.”
Ibnu Muljam datang untuk berkata pada Qatham, “Saya dan dua teman saya telah
berjanji akan bahwa masing-masing kami akan membunuh seorang tokoh besar.” Tak
lama kemudian Qatham minta kain sutra untuk dibalutkan pada mereka bertiga,
(mungkin untuk memberi mereka support).
Mereka bertiga
mengambil pedang mereka masing-masing lalu selanjutnya berangkat menuju depan
pintu yang biasanya dipergunakan keluar oleh ‘Ali. Akhirnya ‘Ali keluar untuk
mengimami shalat shubuh sambil berkata, “Shalat shalat.” Syabib bin Najdah
bergerak cepat menyerang ‘Ali dengan pedang, namun pedangnya menghantam gawan
pintu atau ornament. Ibnu Muljam bergerak cepat memukul ujung kepala ‘Ali
dengan pedang.
Wardan berlari
cepat pulang ke rumahnya; dikejar anak laki-laki ibunya. Lelaki tersebut
memasuki rumah Wardan di saat Wardan sedang melepas kain sutra dan meletakkan
pedangnya. Lelaki tersebut bertanya, “Ada apa dengan kain sutra dan pedang
ini?.” Wardan terpaksa berterus terang padanya. Lelaki tersebut bergegas pulang
ke rumah untuk mengambil dan menebaskan pedangnya hingga Wardan mati.
Syabib
melarikan diri ke arah pintu-gerbang-pintu-gerbang kota Kindah dikejar masya.
Syabib roboh bersimbah darah karena kakinya dipedang dan dibanting oleh
‘Uwaimir dari Chadhramaut. Ketika masya pengejar Syabib telah makin dekat; saat
itu Syabib telah menguasai pedangnya. ‘Uwaimir membiarkan Syabib kabur dan
memasuki kerumunan masya dari pada dirinya terkena serangannya.
Ibnu Muljam
jatuh saat melarikan diri dari kejaran lelaki dari Hamdan yang biasa dipanggil
Aba Adama karena kakinya dipatahkan dengan pedang oleh lelaki tersebut.
‘Ali mendorong punggung جَعْدَةَ بن هُبَيْرَةَ بن أَبِي وَهْبٍ (Ja’dah bin Hubairah
bin Abi Wahb) agar mewakili mengimami jamaah shalat shubuh; sebagaian jamaah
berlarian dari segala penjuru untuk menyerang Ibnu Muljam.
Sejumlah orang
melaporkan bahwa Muhammad bin Chunaif berkata: “Demi Allah, di malam ‘Ali bin
Abi Thalib dipedang; saat itu saya shalat bersama lelaki-lelaki kota tersebut
di dalam Masjid Agung tersebut, yaitu di dekat pintu-keluar rumah ‘Ali menuju
Masjid. Di antara mereka ada yang sedang berdiri, ada yang sedang rukuk, ada
yang sedang sujud. Mereka tak bosan-bosan melakukan shalat sejak awal hingga
akhir malam. Tiba-tiba ‘Ali keluar pintu untuk mengimami shalat shubuh sambil
menyerukan, “Shalat shalat.” Saya sendiri tidak tahu apakah lebih dulu ia
mengucapkan kalimat tersebut ataukah duluan kulihat pedang-pedang mengkilap.
Saya mendengar, “الْحُكْمُ للَّهِ ، لا لَكَ يَا عَلِيُّ وَلا
لأَصْحَابِكَ (Tiada
hukum kecuali kekuasaan Allah, bukan hakmu ya ‘Ali, dan bukan hak
shahabat-shahabatmu).” Lalu kulihat pedang berkelebat. Lalu kulihat masya
berdatangan. Saya mendengar ‘Ali perintah, “Jangan sampai lelaki itu
lepas!.” Sejenak kemudian masya dari segala penjuru berlari cepat mengejarnya.
Saya berada di dalam lokasi tersebut hingga Ibnu Muljam tertangkap dan
dimasukkan ke rumah ‘Ali bin Abi Thalib.
Saya memasuki
rumah ‘Ali mengikuti orang-orang. Tiba-tiba saya mendengar ‘Ali bin Abi Thalib
berkata, “النَّفْسُ بِالنَّفْسِ ، إِنْ هَلَكْتُ
فَاقْتُلُوهُ كَمَا قَتَلَنِي (Jiwa dibalas dengan jiwa. Jika saya mati maka bunuhlah
dia sebagaimana memedangku)!. Namun jika saya masih hidup, maka telah punya
pandangan sebaiknya dia diapakan?.” Di saat Ibnu Muljam dibawa masuk ke rumah
‘Ali; ‘Ali bertanya, “Ya musuh Allah, bukankah saya telah berbuat baik padamu?,
bukankah saya telah memperlakukan kamu dengan baik?.” Ia menjawab, “Betul.”
‘Ali bertanya, “Lalu apa yang mendorongmu melakukan ini?.” Saya telah mengasah
pedangku selama empat puluh shubuh lalu berdoa agar Allah membunuh
sejelek-jelek makhluq-Nya dengan pedang ini.” ‘Ali berkata, “Saya yakin kamu
akan mati terbunuh dengan pedang ini, dan kamu termasuk makhluq Allah paling
jelek.” Konon dua tangan Ibnu Muljam diikat erat hingga belikat di depan
Chasan.
Tiba-tiba putri
‘Ali bernama Ummu Kultsum menangis, “Hai musuh Allah, ayahku tidak apa-apa;
sementara kamu akan dihinakan oleh Allah.” Ibnu Muljam menjawab, “Kenapa kau
menangis?. Demi Allah pedang itu kubeli seharga seribu (dinar), dan telah
kuberi seribu racun. Kalau pukulan pedangku ini melukai seluruh penduduk kota
ini pasti mereka tidak mampu bertahan hidup satu jam pun. Namun ayahmu masih
juga hidup hingga saat ini.” ‘Ali berkata pada Chasan, “Jika aku bertahan
hidup, aku telah mempunyai perhitungan. Namun jika aku mati karena pukulan
pedang ini, maka pukullah dengan pedang sekali saja, jangan kau siksa. Sebab
sungguh aku pernah mendengar Rasulallah melarang menyiksa meskipun pada anjing
buas.” Sebuah riwayat menjelaskan bahwa Jundub bin ‘Abdillah memasuki rumah
‘Ali untuk memohon, “Jika kami kehilangan tuan, maka kami akan berbai’at pada
Chasan.” ‘Ali bin Abi Thalib menjawab, “Yang ini saya tidak perintah dan tidak
melarang, kalian yang lebih tahu.”
Ketika ‘Ali bin
Abi Thalib telah wafat; Chasan perintah agar Ibnu Muljam dibawa masuk ke
rumahnya. Ibnu Muljam berkata ketika telah masuk ke rumah Chasan, “Bolehkah
saya minta sesuatu?, demi Allah sejak dulu jika saya bersumpah pada Allah pasti
saya laksanakan. Saya pernah bersumpah pada Allah akan membunuh ‘Ali dan
Mu’awiyyah, atau saya mati saat menyerang mereka berdua. Jika kau setuju
lepaskanlah saya agar membunuh dia. Saya bersumpah pada Allah jika saya gagal
membunuhnya, saya akan menyerahkan tanganku pada tanganmu.”
Sepertinya Ibnu
Muljam yakin sepenuhnya bahwa Chasan sangat benci Mu’awiyyah bin Abi Sufyan,
sehingga ia menawarkan jasa membunuh Mu’awiyyah agar Chasan mau melepaskannya.
Chasan
menjawab, “Demi Allah tidak bisa, atau kamu akan menyaksikan neraka.”
Chasan perintah agar Ibnu Muljam diajukan untuk dibabat kepalanya dengan
pedang. Selanjutnya mayat tersebut dimasukkan dalam bawari (tempat). Tak lama
kemudian masya membakarnya dengan api. Sebelum itu ‘Ali bin Abi Thalib telah
berpesan, “Ya keluarga besar ‘Abdul-Muthalib, jangan sampai terjadi suatu saat
nanti saya menjumpai kalian berkecimpung dalam darahnya Muslimiin hanya karena
beralasan ‘ini kami lakukan karena Amirul-Mu’miniin dibunuh, ini kami lakukan
karena Amirul-Mu’miniin dibunuh. Ingat, tidak boleh ada yang dibunuh kecuali
orang yang telah membabatkan pedangnya padaku!.”
Luar biasa, di
saat kemarahan ‘Ali bin Abi Thalib di puncak, ia masih bisa berbicara
dengan arif dan bijaksana. Sebetulnya wasiat terakhir sebelum wafatnya panjang
dan indah luar biasa. Pantaslah jika Rasulullah pernah bersabda, “يُحِبُّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ (Ia cinta Allah dan
Rasul-Nya; Allah dan Rasul-Nya cinta dia).”
Ali bin Abi Thalib seorang Khalifah yang pemberani, kisah lengkap
Ali bin Abi Thalib ditulis kembali agar pembaca bisa mengetahui sejarah
yang sebenarnya mulai Ali bin Abi Thalib sebelum menjadi khalifah sampai akhir
hayatnya terbunuh.
‘Ali bin ‘Abi
Thalib adalah menantu Rasulillah yang mendapat nama kehormatan (kuniyyah) Abu
Turab (Bapaknya tanah) dari Rasulillah. Abu Turab adalah panggilan yang paling
disenangi oleh ‘Ali karena nama kehormatan ini kenang-kenangan berharga dari
Nabi yang mulia. Ia dibai’at menjadi Khalifah pada hari Jumat tanggal 25
Dzul-Chijjah tahun 35 Hijriyyah (4 Juni 656 M).
Sabda Nabi : “لأُعْطِيَنَّ
الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
"Niscaya
besok pagi bendera ini akan saya berikan pada seorang lelaki yang telah diberi
kemenangan karena usahanya. Ia dicintai Allah dan Utusan Allah dan utusan Allah
juga mencintainya".
Pada masa
perang Khaibar bulan Shafar tahun tujuh Hijriyah dia telah menjadi tokoh utama
bagi umat Islam pada umumnya. Setelah sabda yang menggiurkan tersebut terucap,
para shahabat membicarakan siapa orang beruntung yang akan mendapatkan
kehormatan tersebut. Setelah itu mereka semua berambisi menjadi tokoh agung
tersebut.
Di suatu pagi
yang indah semua sahabat termasuk Umar yang tidak pernah ingin menjadi
pemimpin, berkeinginan untuk terpilih. Ternyata Ali bin Abi Taliblah yang
menerima kesempatan besar tersebut. Ali bin Abi Talib juga dianugerahi
karena telah membunuh Talha ibn' Uthman di perang Uhud pada bulan Syawal tahun
3 (tiga) Hijriyyah (Januari 625 M)
خرج طلحة بن عثمان صاحب لواء المشركين وقال: يا
معشر أصحاب محمد إنكم تزعمون أن الله يعجلنا بسيوفكم إلى النار ويعجلكم بسيوفنا
إلى الجنة، فهل أحد منكم يعجله سيفي إلى الجنة أو يعجلني سيفه إلى النار ؟ فبرز
إليه علي بن أبي طالب، فضربه علي فقطع رجله، فسقط وانكشفت عورته، فناشده الله
والرحم فتركه، فكبر رسول الله، صلى الله عليه وسلم، وقال لعلي: ما منعك أن تجهز
عليه ؟ قال: إنه ناشدني الله والرحم فاستحييت منه –
Talha bin
'Uthman pembawa bendera kaum musyrik berkata," Wahai para golongan sahabat
Muhammad, engkau yang berkeyakinan bahwa Tuhan akan mempercepat kami ke neraka
dengan pedang kalian, dan mempercepat kamu ke surga melalui pedang kami.
Sekarang siapakah yang sanggup mempercepat diri kalian ke Surga karena pedang
kami atau mempercepat kami ke neraka dengan pedang kalian? Ali akhirnya
menerima tantangan tersebut, bergerak cepat memukul mematahkan kakinya. Ia
jatuh hingga terlihat auratnya karena kain yang ia kenakan tersingkap, dan
memohon kepada Ali agar takut kepada Allah dan meminta-minta menjadi
sahabatnya, lalu Ali meninggalkannya. Tiba-tiba Nabi memekikan takbir demi
melihat pemandangan tersebut dan bertanya,"Apa yang membuatmu tidak
menghabisinya? Ali menjawab,"Ia memohon-mohon padaku untuk memperhatikan
Allah dan keluarga kami, sehingga saya merasa enggan".[Al-Kamil fit-Tarikh
1 / 294]
Thabrani murid
Achmad bin 'Ali Abu al-Abbar murid Umayyad murid Uthman ibn' Abdir-Rahman murid
Isma'il ibn Rashid bercerita tentang kematian 'Ali ibn' Abi Talib, yang
bertepatan dengan hari Jum'at 17 Ramadan tahun 40 Hijriyyah (24 January 661M):
Konon termasuk Hadits Ibnu Muljam dan shahabat-shabatnya yang dilaknat Allah
ialah: Memang ‘Abdur-Rahman bin Muljam, Al-Barku bin ‘Abdillah dan ‘Amer bin
Bakr At-Taimi mengadakan pertemuan di Makkah untuk membahas tentang ihwal
masyarakat umum dan mencela perbuatan tokoh-tokoh besar Muslimiin. Pembicaraan
tersebut berkembang ke arah pembahasan kepedulian mereka pada penduduk kota
Nahar yang dulu pernah diperangi ‘Ali. Mereka berkata, “Demi Allah kita ini
belum berjasa sebanyak tokoh-tokoh (Khawarij) yang telah mendahului kita.
Tokoh-tokoh pendahulu kita telah menjadi dai yang mengajak orang-orang agar
beribadah pada Tuhan mereka, dan di dalam beribadah mereka tidak takut
caci-makian orang mencaci-maki. Hendaklah kita-kita ini mengorbankan diri-kita
dengan cara mendatangi dan memastikan tokoh-tokoh besar Muslimiin terbunuh,
sebagai upaya agar penduduk-kota kita tidak dendam dan agar dendam pendahulu
kita terbalas. Ibnu Muljam yang konon sebagai penduduk Mesir berkata, “Sayalah
yang membereskan urusan kalian berupa menghabisi ‘Ali.” Al-Barku bin ‘Abdillah
berkata, “Sayalah yang akan membereskan urusan kalian berupa menghabisi
Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.” ‘Amer bin Bakr At-Tamimi berkata, “Sayalah yang
akan membereskan urusan kalian berupa menghabisi ‘Amer bin ‘Ash.”
Tiga orang yang
terancam kematiannya ini tokoh besar ummat Islam yang saat itu namanya
menggetarkan dunia karena saat itu zaman kejayaan Islam:
1.
’Ali
bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang sangat agung.
2.
Mu’awiyyah
sebagi Gubernur yang sangat berpengaruh karena pernah menjadi sekretaris
Rasulillah.
3.
‘Amer
bin ‘Ash orang yang pernah diangkat sebagai panglima perang oleh Abu Bakr,
bahkan tergolong Umara’ul-Ajnad (semacam jendral besar).
Mereka bertiga
membuat persekongkolan dan perjanjian rahasia yang diikat dengan sumpah demi
Allah tak seorangpun dari mereka mem-batalkan rencananya sehingga berhasil
membunuh sasaran mereka masing-masing atau mati karena rencana gila tersebut.
Mereka bertiga mengambil pedang untuk diberi racun, dan membulatkan perjanjian
bahwa masing-masing mereka bertiga akan menyerang korban mereka tanggal 17 Ramadhan.
Mereka bertiga pergi ke kota yang dihuni oleh sasaran mereka masing-masing.
Ibnu Muljam
Al-Muradi mendatangi sahabat-sahabatnya berada di kota Kufah, namun ia
menyembunyikan rencananya karena takut akan ada yang mengetahuinya. Ibnu Muljam
juga mendatangi teman-temannya dari keluarga besar Taimir-Rabab, yaitu sebuah
keluarga besar yang pada zaman perang An-Nahar banyak yang mati terbunuh.
Keluarga besar Taimir-Rabab membicarakan dan mengasihani keluarga mereka yang
meninggal dalam peperangan tersebut. Kebetulan saat itu muncul seorang wanita
bernama Qatham binti Sachnah dari keluarga besar Taimir-Rabab yang memendam
dendam pada ‘Ali karena telah membunuh ayah dan saudara laki-lakinya dalam
perang Nahar tersebut. Konon kecantikan Qatham binti Sachnah luar biasa
(sempurna). Karena kecantikan Qatham binti Sachnah lah maka ia lupa dengan
tujuan semula (tersihir). Ibnu Muljam melamar Qatham binti Sachnah. Qatham
binti Sachnah menjawab, “Saya tidak akan menikah sehingga kau bisa mengobati
sakit-hatiku.” Ibnu Muljam bertanya, “Sebetulnya apa yang kau inginkan?.” Ia
menjawab, “Tiga ribu dinar dan budak laki-laki dan biduanita dan bunuhlah ‘Ali
!.” Ibnu Muljam berkata, “Berarti ini sebagai maskawin untukmu. Namun apa betul
kamu ingin ‘Ali dibunuh?.”
Diriwayatkan
bahwa Ibnu Abi ‘Ayyasy Al-Muradi berkata, “وَلا مَهْرَ
أَغْلَى مِنْ عَلِيٍّ (Sebetulnya
tidak ada maskawin yang lebih mahal dari pada membunuh ‘Ali bin Abi Thalib ).”
Ia menjawab,
“Betul!. Pastikan pembunuhan tersebut pada waktu-bulan-ghurrah (sekitar tanggal
15)!. Jika kau berhasil maka kita berdua puas, selanjutnya kita berdua hidup
berbahagia penuh manfaat. Namun jika kau yang mati terbunuh, maka yang di sisi
Allah jauh lebih baik dari pada dunia dan perhiasan penghuninya.” Ibnu Muljam
berkata, “Sebetulnya kedatanganku kemari memang bertujuan membunuh dia.” Ia
menjawab, “Jika tekadmu telah bulat kabarilah saya, saya akan menyuruh orang
agar membantu dan mendukungmu.” Akhirnya Qatham perintah lelaki dari
keluarganya yang menyanggupinya bernama Wardan. Ibnu Muljam mendatangi lelaki
(shahabat karibnya) dari keluarga besar Asyja’ bernama Syabib bin Najdah untuk
berkata, “Bukankah kau mau mendapatkan kejayaan dunia dan akhirat?.” Ia
menjawab, “Apa maksudmu?.” Ibnu Muljam menjawab, “Membunuh ‘Ali .” Ia menjawab,
“Kau ini gila.
لَقَدْ
جِئْتَ شَيْئًا إِدًّاNiscaya kau
telah melakukan kegilaan yang nyata. Apa mungkin kau bisa membunuh dia?.” Ibnu
Muljam berkata, “Saya akan bersembunyi di waktu sahur. Jika ia telah keluar
rumah untuk mengimami shalat shubuh, maka saat itu juga kita serang dan kita
bunuh. Jika dalam rencana ini kita selamat maka kita puas dan dendam kita telah
terbalas, namun jika kita mati maka pahala di sisi Allah jauh lebih baik dari
pada dunia dan perhiasan penghuninya. Ia berkata, “Kau memang harus kubantu.
Tapi kalau rencana ini ditujukan pada selain ‘Ali niscaya urusannya lebih
ringan bagiku. Karena saya tahu sepenuhnya bahwa jasa dia di dalam Islam sangat
besar. Ia juga termasuk shahabat Nabi yang awal. Terus terang dalam hal ini
saya merasa keberatan. Ibnu Muljam berkata, “Bukanakah kau sendiri tahu bahwa
dia yang memerangi penduduk Nahar yang tekun beribadah dan shalat?.” Ia
menjawab, “Betul.” Ibnu Muljam berkata, “Kita membunuh dia karena membalaskan
saudara-saudara kita yang dia bunuh saat itu.” Setelah Syabib bin Najdah
menyetujuinya, mereka bertiga segera berpamitan, “Kami semua telah mufakat akan
membunuh ‘Ali,” pada Qatham yang saat itu sedang i’tikaf di dalam Masjid Agung.
Qatham menjawab, “Jika kalian telah siap berangkat datanglah kemari lagi!.”
Ibnu Muljam datang untuk berkata pada Qatham, “Saya dan dua teman saya telah
berjanji akan bahwa masing-masing kami akan membunuh seorang tokoh besar.” Tak
lama kemudian Qatham minta kain sutra untuk dibalutkan pada mereka bertiga,
(mungkin untuk memberi mereka support).
Mereka bertiga
mengambil pedang mereka masing-masing lalu selanjutnya berangkat menuju depan
pintu yang biasanya dipergunakan keluar oleh ‘Ali. Akhirnya ‘Ali keluar untuk
mengimami shalat shubuh sambil berkata, “Shalat shalat.” Syabib bin Najdah
bergerak cepat menyerang ‘Ali dengan pedang, namun pedangnya menghantam gawan
pintu atau ornament. Ibnu Muljam bergerak cepat memukul ujung kepala ‘Ali
dengan pedang.
Wardan berlari
cepat pulang ke rumahnya; dikejar anak laki-laki ibunya. Lelaki tersebut
memasuki rumah Wardan di saat Wardan sedang melepas kain sutra dan meletakkan
pedangnya. Lelaki tersebut bertanya, “Ada apa dengan kain sutra dan pedang
ini?.” Wardan terpaksa berterus terang padanya. Lelaki tersebut bergegas pulang
ke rumah untuk mengambil dan menebaskan pedangnya hingga Wardan mati.
Syabib
melarikan diri ke arah pintu-gerbang-pintu-gerbang kota Kindah dikejar masya.
Syabib roboh bersimbah darah karena kakinya dipedang dan dibanting oleh
‘Uwaimir dari Chadhramaut. Ketika masya pengejar Syabib telah makin dekat; saat
itu Syabib telah menguasai pedangnya. ‘Uwaimir membiarkan Syabib kabur dan
memasuki kerumunan masya dari pada dirinya terkena serangannya.
Ibnu Muljam
jatuh saat melarikan diri dari kejaran lelaki dari Hamdan yang biasa dipanggil
Aba Adama karena kakinya dipatahkan dengan pedang oleh lelaki tersebut.
‘Ali mendorong punggung جَعْدَةَ بن هُبَيْرَةَ بن أَبِي وَهْبٍ (Ja’dah bin Hubairah
bin Abi Wahb) agar mewakili mengimami jamaah shalat shubuh; sebagaian jamaah
berlarian dari segala penjuru untuk menyerang Ibnu Muljam.
Sejumlah orang
melaporkan bahwa Muhammad bin Chunaif berkata: “Demi Allah, di malam ‘Ali bin
Abi Thalib dipedang; saat itu saya shalat bersama lelaki-lelaki kota tersebut
di dalam Masjid Agung tersebut, yaitu di dekat pintu-keluar rumah ‘Ali menuju
Masjid. Di antara mereka ada yang sedang berdiri, ada yang sedang rukuk, ada
yang sedang sujud. Mereka tak bosan-bosan melakukan shalat sejak awal hingga
akhir malam. Tiba-tiba ‘Ali keluar pintu untuk mengimami shalat shubuh sambil
menyerukan, “Shalat shalat.” Saya sendiri tidak tahu apakah lebih dulu ia
mengucapkan kalimat tersebut ataukah duluan kulihat pedang-pedang mengkilap.
Saya mendengar, “الْحُكْمُ للَّهِ ، لا لَكَ يَا عَلِيُّ وَلا
لأَصْحَابِكَ (Tiada
hukum kecuali kekuasaan Allah, bukan hakmu ya ‘Ali, dan bukan hak
shahabat-shahabatmu).” Lalu kulihat pedang berkelebat. Lalu kulihat masya
berdatangan. Saya mendengar ‘Ali perintah, “Jangan sampai lelaki itu
lepas!.” Sejenak kemudian masya dari segala penjuru berlari cepat mengejarnya.
Saya berada di dalam lokasi tersebut hingga Ibnu Muljam tertangkap dan
dimasukkan ke rumah ‘Ali bin Abi Thalib.
Saya memasuki
rumah ‘Ali mengikuti orang-orang. Tiba-tiba saya mendengar ‘Ali bin Abi Thalib
berkata, “النَّفْسُ بِالنَّفْسِ ، إِنْ هَلَكْتُ
فَاقْتُلُوهُ كَمَا قَتَلَنِي (Jiwa dibalas dengan jiwa. Jika saya mati maka bunuhlah
dia sebagaimana memedangku)!. Namun jika saya masih hidup, maka telah punya
pandangan sebaiknya dia diapakan?.” Di saat Ibnu Muljam dibawa masuk ke rumah
‘Ali; ‘Ali bertanya, “Ya musuh Allah, bukankah saya telah berbuat baik padamu?,
bukankah saya telah memperlakukan kamu dengan baik?.” Ia menjawab, “Betul.”
‘Ali bertanya, “Lalu apa yang mendorongmu melakukan ini?.” Saya telah mengasah
pedangku selama empat puluh shubuh lalu berdoa agar Allah membunuh
sejelek-jelek makhluq-Nya dengan pedang ini.” ‘Ali berkata, “Saya yakin kamu
akan mati terbunuh dengan pedang ini, dan kamu termasuk makhluq Allah paling
jelek.” Konon dua tangan Ibnu Muljam diikat erat hingga belikat di depan
Chasan.
Tiba-tiba putri
‘Ali bernama Ummu Kultsum menangis, “Hai musuh Allah, ayahku tidak apa-apa;
sementara kamu akan dihinakan oleh Allah.” Ibnu Muljam menjawab, “Kenapa kau
menangis?. Demi Allah pedang itu kubeli seharga seribu (dinar), dan telah
kuberi seribu racun. Kalau pukulan pedangku ini melukai seluruh penduduk kota
ini pasti mereka tidak mampu bertahan hidup satu jam pun. Namun ayahmu masih
juga hidup hingga saat ini.” ‘Ali berkata pada Chasan, “Jika aku bertahan
hidup, aku telah mempunyai perhitungan. Namun jika aku mati karena pukulan
pedang ini, maka pukullah dengan pedang sekali saja, jangan kau siksa. Sebab
sungguh aku pernah mendengar Rasulallah melarang menyiksa meskipun pada anjing
buas.” Sebuah riwayat menjelaskan bahwa Jundub bin ‘Abdillah memasuki rumah
‘Ali untuk memohon, “Jika kami kehilangan tuan, maka kami akan berbai’at pada
Chasan.” ‘Ali bin Abi Thalib menjawab, “Yang ini saya tidak perintah dan tidak
melarang, kalian yang lebih tahu.”
Ketika ‘Ali bin
Abi Thalib telah wafat; Chasan perintah agar Ibnu Muljam dibawa masuk ke
rumahnya. Ibnu Muljam berkata ketika telah masuk ke rumah Chasan, “Bolehkah
saya minta sesuatu?, demi Allah sejak dulu jika saya bersumpah pada Allah pasti
saya laksanakan. Saya pernah bersumpah pada Allah akan membunuh ‘Ali dan
Mu’awiyyah, atau saya mati saat menyerang mereka berdua. Jika kau setuju
lepaskanlah saya agar membunuh dia. Saya bersumpah pada Allah jika saya gagal
membunuhnya, saya akan menyerahkan tanganku pada tanganmu.”
Sepertinya Ibnu
Muljam yakin sepenuhnya bahwa Chasan sangat benci Mu’awiyyah bin Abi Sufyan,
sehingga ia menawarkan jasa membunuh Mu’awiyyah agar Chasan mau melepaskannya.
Chasan
menjawab, “Demi Allah tidak bisa, atau kamu akan menyaksikan neraka.”
Chasan perintah agar Ibnu Muljam diajukan untuk dibabat kepalanya dengan
pedang. Selanjutnya mayat tersebut dimasukkan dalam bawari (tempat). Tak lama
kemudian masya membakarnya dengan api. Sebelum itu ‘Ali bin Abi Thalib telah
berpesan, “Ya keluarga besar ‘Abdul-Muthalib, jangan sampai terjadi suatu saat
nanti saya menjumpai kalian berkecimpung dalam darahnya Muslimiin hanya karena
beralasan ‘ini kami lakukan karena Amirul-Mu’miniin dibunuh, ini kami lakukan
karena Amirul-Mu’miniin dibunuh. Ingat, tidak boleh ada yang dibunuh kecuali
orang yang telah membabatkan pedangnya padaku!.”
Luar biasa, di
saat kemarahan ‘Ali bin Abi Thalib di puncak, ia masih bisa berbicara
dengan arif dan bijaksana. Sebetulnya wasiat terakhir sebelum wafatnya panjang
dan indah luar biasa. Pantaslah jika Rasulullah pernah bersabda, “يُحِبُّ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ (Ia cinta Allah dan
Rasul-Nya; Allah dan Rasul-Nya cinta dia).”
Posting Komentar